Hari itu kami duduk bertiga, saya dan dua temanku X dan Y (nama samaran). Kami sedang asyik bercerita tentang agama kami masing-masing (saya islam dan mereka agama lain). pertanyaan kami saling bersahutan memecah kesunyian teras depan apotek kosong di lorong itu.
Saya melihat tatapannya Y penuh rasa ingin tahu atas setiap pertanyaannya, dan tatapan X penuh keyakinan menjawab setiap pertanyaan yang saya tanyakan pada mereka. Kami larut dalam percakapan bahkan sampai selama perjalanan, mulai dari masalah peribadatan agama mereka, tentang jilbab, sampai pandangan islam tentang perceraian (namun semua masih dalam batasan dan saling menghargai keyakinan masing-masing). Hingga tiba untuk makan siang, sesekali kami pun kembali membahas tentang cerita-cerita kami yang sebelumnya diperjalanan.
.....
Dan kami pun telah duduk untuk makan siang di KFC yang ada di dalam ITC jadi banyak sekali pengujung ITC berlalu lalang di depan tempat kami makan. Temanku si Y masih tetarik sekali untuk menanyakan komentarku tentang perempuan-perempuan berjilbab yang berlewatan di hadapan kami.
Saya pun bertanya: “Y, kok kamu dari tadi pembahasannya tentang jilbab mulu?” (#dengan rasa penasaran, karena si Y itu adalah laki-laki dan biasanya laki-laki kan tidak terlalu tertarik membahas jilbab, terlebih dia juga memang bukan beragama islam).
Y : “gapapa.... “
Dengan mata yang masih ke kanan ke kiri melihat-lihat wanita berjilbab yang lalu lalang di sekitar tempat itu. Suasana kembali hening, dan tiba-tiba dia berkata dengan nada yang teratur
Y : “Semakin tertutup, semakin membuat penasaran. Kenapa ga dibuka aja... biar jelas” (kurang lebih kata-katanya seperti itu)
Sesaat saya menatapnya tajam, seolah ingin ia mengerti arti tatapan itu kalau saya tidak menyukai statementnya. Kemudian mengatur nafas, untuk merilekskan kekagetanku dengan ucapannya itu.
Saya: “ada pilihan, dimana kita tidak bisa memilih...”
kemudian diam tanpa melanjutkan tanggapan saya, karena menurutku sekalipun saya menjelaskannya dengan beragam alasan dan dalil juga tidak akan membuatnya percaya, dan juga hal itu tidak akan memberinya manfaat sama sekali melainkan hanya membuat ketegangan.
”
|
saya berkata dengan yakin dalam hati, ini adalah pilihan kami karena Allah ... karena keimanan yang terpatri, tak peduli dalam kacamata manusia tertentu hal tersebut tidak meng-“enakkan”, tapi apalah kuasa hati jika yang Maha Cinta mengharapkan cintanya untuk melakukan suatu hal bagi-Nya, tentunya suatu kepastian dengan suka cita dan bahagia meng”iya-kan” sang Maha Cinta.
Dan tidak ada hak bagi siapa pun untuk membatasi pilihan kami, itulah sebabnya ada yang namanya “Hak Asasi Manusia”. Pilihan manusia akan hal sepele saja tetap dilindungi, apalagi sebuah pilihan yang mengatasnamakan Tuhan.
Berjilbab merupakan sebuah kepastian dalam islam sebagaimana yang tertulis dalam pedoman hidup (Al Qur’an) umat islam (Al-Ahzaab ayat 59 dan surah An nur ayat 31). Saya bukanlah orang yang punya kompetensi untuk membahas tafsir maupun ilmu-ilmu islam, namun untuk mengatakan kebenaran adalah hak dan kewajiban siapapun bukan?.
Bagi saya pribadi, berjilbab adalah salah satu bukti keimanan pada-Nya dan juga berjilbab adalah suatu berkah tersendiri. Saat saya sedang dalam perjalanan sendirian, saya merasa pertolongan Allah begitu dekat (karena memang sebenarnya dekat). Berjilbab membuat pria-pria lebih menghargai saya sebagai seorang wanita, seperti dengan tidak melakukan pelecehan, berhati-hati agar tidak menyentuh saya, berlaku sopan dan masih banyak keuntungan lainnya. Dan dengan sesama muslimah, jilbab bagaikan “kartu identitas” (terutama saat di luar negeri) sehingga sekalipun belum berkenalan seolah ada ikatan kuat yang membuat kami saling peduli dan menjaga.
Jilbab tidak akan membuat kecantikanmu berkurang, justru jilbab akan memper-anggun yang memakainya dan mengangkat nilai diri kita sebagai seorang wanita.
0 comments:
Post a Comment