Pages

Ads 468x60px

Labels

Friday 30 May 2014

Berhijab di Negeri Eropa


Hijab adalah harga mati untuk ku (InsyaAllah), namun sekali lagi dunia itu memang penuh dengan pilihan. Pernah ada yang bertanya "Dede kenapa kamu menutupi rambut mu seperti ini?", aku ngejawab: Ini bentuk penghambaan ku ke Tuhan. Aku beragama islam, dan wanita islam dituntun untuk menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan kami seperti ini. Lalu dia bertanya lagi "lalu kenapa kamu tidak bercadar?", aku menjawab: Untuk beberapa Negara memang punya perbedaan dalam cara berpakaian tapi itu ga masalah karena intinya adalah menutup aurat (seluruh tubuh, kecuali telapak tangan dan wajah). Atau aku juga pernah ditanya "kenapa kamu berhijab lalu ada muslimah lain tidak?", Itu pilihan dia tapi tuntunan islam muslimah itu berhijab, jawabku. 

"Aku, kamu, mereka tentu saja manusia punya jalan pikiran dan hati yang berbeda"



mungkin aku cuma bisa bilang "pilihan" seperti hal nya ada pilihan "surga dan neraka, bahagia dan sedih, dan seterusnya". Tapi aku percaya bahwa semuanya hanya menunggu waktu, pada akhirnya aku yakin setiap muslimah punya keinginan yang kuat untuk berhijab tapi mungkin skenario kami saja yang berbeda "aku duluan lalu kamu, atau kalian duluan baru aku, atau apa pun alasannya".
Yang pasti hijab ini adalah sebuah "penghambaan" seorang muslimah kepada Nya. Terlebih di Negeri Minoritas muslim ini, mungkin akan ada banyak hal unik bagaimana seorang wanita berhijab dipandang. Seperti yang pernah aku alami dalam perjalanan ke Paris, tiba-tiba ada seorang dari London yang berbicara tentang teroris. Tapi sungguh muslim bukanlah teroris, disaat itu terjadi sebenarnya karena ada kelompok sangat super minoritas (garis keras) di dalam islam yang punya pemikiran berbeda.

Namun penjelasan saja sepertinya itu belum cukup, mengingat banyaknya isu negatif tentang keberdaan muslim. Sesungguhnya menjadi seorang penganut islam menuntun seseorang untuk menjadi penebar kebaikan. Kalau pun ada sisi negatif, pasti itu hadir dari sisi manusiawi seseorang tersebut, baik itu aku atau pun muslim lainnya. Kami dituntun untuk menebarkan kebaikan, senyum, saling menolong, bersabar, cinta perdamaian, taat, rendah hati, tidak mendendam, loyalitas, profesional, tekun, senang memberi, dan lain-lain.



"Tak kenal maka tak cinta, itulah mungkin sebuah ungkapan yang aku tawarkan kepada siapa pun Anda yang masih berpandangan buruk pada muslim"

Saling menghargai dan hidup berdampingan dengan penuh bahagia. Toleransi itu bukan berarti seseorang harus mengikuti cara berlaku penganut yang lain, tetapi terbuka menerima perbedaan dan menghargainya sebagai suatu "pilihan kepercayaan". 
Pengalaman pertama aku berhijab di Negeri Eropa saat menginjakan kaki di Belanda. Waktu itu aku sedang menunggu kereta menuju Enschede dari Amsterdam (Schipol). Aku menemui seorang Bapak (*kayaknya bule belanda) sedang berdiri sekitar selangkah di samping ku. Saat itu aku melihat secara sekilas ada sebuah bungkusan--berwarna coklat yang dari tulisannya sepertinya sebungkus humburger--jatuh dari tas-nya. Dengan cekatan aku langsung mengambil bungkusan itu dan menyerahkannya dengan baik-baik pada Bapak itu seraya berkata "Ini Bapak punya?". Seketika dia langsung merespon seperti agak kaget, kuatir, ngeri, sambil dengan tegas mengatakan "NO!" dan pergi menjauh. Untuk ukuran budaya Indonesia aku pikir itu agak kasar, tapi aku cuma berpositif sangka mungkin beliau memang sedang buru-buru atau mungkin memang nada bicara disini seperti itu.
Dan hanya beberapa menit setelah itu seorang kenalan seperjalanan ku (Ibu Nisa) yang juga seorang muslimah berhijab mengatakan "Kamu harus memaklumi De' (*Nama ku Dede), disini mereka memang bersikap agak tidak suka dengan seorang muslim apalagi jika dia berhijab salah satunya seperti respon Bapak yang tadi". (Kurang lebih inti penyampaiannya seperti itu).

Waktu terus bergulir, tidak terasa sudah 4 bulan lamanya aku menjalani kehidupan sebagai seorang muslimah di Negeri minoritas muslim ini. Dan selama itu pula aku menemukan beberapa fakta dari kehidupan berhijab di sini.

1. Berhijab tidak dilarang
Mungkin kamu pernah mendengar kabar kalau berhijab dilarang di Eropa. Khususnya di Belanda, dengan tulisan ini aku menegaskan, "Tidak sama sekali!". Ini lah buah manis dari yang namanya HAM (Hak Asasi Manusia) yang diakui seluruh dunia sehingga tidak ada hak sama sekali bagi seseorang melarang orang lain berbuat sesuatu, terlebih hal tersebut sama sekali tidak merugikannya. Toh berhijab cuma perkara mudah, yakni menutupi seluruh badan (kaki, lengan tangan, badan), ditambah sehelai kerudung (dalam bentuk apa pun itu untuk menutupi seluruh rambut sampai minimal di dada). Jadi berhijab sama sekali tidak dilarang, pun saat aku mengunjungi Paris tidak jauh berbeda dengan Belanda. Bahkan uniknya pengguna hijab di Paris justru terlihat lebih banyak daripada di lingkungan Belanda. 
Jangan kuatir untuk menggunakan hijab, bayangin jika dalam keadaan sedang tidak mengingat Allah saja, kita selalu merasa dilimpahkan banyak rahmat oleh-Nya. Apalagi saat kita menjalani hari untuk tetap konsisten atas penghambaan pada Nya, InsyaAllah keberkahan akan selalu terlimpah. :)


2. Berhijab kadang membuat performance jadi sesuatu yang "tanda tanya"
Ini sebenarnya cuma pengalaman pribadi dan lebih subjektif, tapi mungkin bisa sedikit memberi gambaran. Mungkin karena muslimah berhijab itu jarang, dan prestasi lebih banyak berkilau oleh yang  bukan berhijab dan bukan muslim. Itu membuat aku pada awalnya sempat merasa "nothing". Namun Alhamdulillah, betapa terkejutnya aku karena pada sebuah matakuliah "horor" (*sebutlah begitu, karena dosennya terkenal sangat "selera tinggi alias ketat (*ups Sorry)" dalam memberi nilai, apalagi untuk satu matakuilah tersebut ada dua sub mata kuliah yang keduanya harus dapat nilai excellence kalau mau dapat sempurna. Dan "wow!", Subhanallah hasil akhir membuat bukan hanya aku yang terkejut tapi juga teman-teman sekelas. Seperti yang diduga dosennya menilai dengan sangat jeli dan tes yang cukup ketat, terbukti dengan banyaknya komentar waktu tidak cukup, nilai yang dikasih terlalu kecil, dll. Dan aku dapatkan nilai sempurna, bisa di bilang seperti nilai pencilan (*tinggi dari rata-rata nilai kelas) yakni 9 koma dari sekala 10. Ada teman-teman yang bertanya "Bagaimana bisa?..", "kamu belajar kayak bagaimana?..", "Apa rahasianya?..". 

"Mungkin hal ini mengejutkan karena seorang wanita yang berbalut kain dikepalanya, ternyata diam-diam lebih dari yang disangka"

Dan untuk mempersingkat jawaban pertanyaan-pertanyaan itu jadi aku pun menjawab, "I was just lucky". Tapi dibalik itu ada do'a yang berderet panjang penuh pengharapan dan kepasrahan, dan ikhtiar tentunya. Islam mengajarkan aku untuk "Bersungguh-sungguh".
Bolehlah aku kutip kata teman ku, "kita perlu hard work dan hard play" dan mungkin aku tambahin jadi "kita perlu hard work, hard play dengan smart way". Hard work maksudnya "Kalau lagi belajar, yah belajar!", ga peduli berapa halaman tebalnya, ga peduli sampai "pantat keram" (*ups sorry) waktu duduk belajar, ga peduli meski ngulang baca sampai 3 kali, ga peduli harus ngapal gimana modelnya, sampe kepala berasap (*ah lebay haha) semuanya dijalani dengan totalitas. Hard play maksudnya kalo lagi libur, ga ujian baru kita bermain ria. Namun semuanya itu perlu smart way, ngejawab soal pake strategy yang efektif biar meskipun punya waktu yang sedikit tapi bisa dijawab dengan optimal, rencanain liburan yang efesien biar duitnya bisa dipakai jalan-jalan ke banyak tempat, dan semua dari segalanya meminta terus pertolongan Allah.
Pada sisi mana pun "performance" itu bukan sesuatu yang bisa dinilai di awal, tapi di akhir. Hijab justru menjadi motivasi untuk selalu melakukan yang terbaik.

"Aku dan Kamu adalah benar-benar Aku dan Kamu, bukan perkara hijab. Hijab adalah penghambaanku pada Allah dalam menjalani hidup."

3. Berhijab membuat unik dan berbeda
Kalau orang lain ngelilitin scraf dileher, para penghijab dengan rapi dan berseni menutupi bagian rambutnya dan dadanya dengan scraf itu. Owh yah ngomong-ngomong salah satu fenomena kenapa muslimah di eropa kebanyakan menggunakan scraf--atau di Indonesia kita bilang pashmina, itu mungkin alasannya sederhana "karena disini yang bisa mudah dibeli sebagai penutup kepala yah scraf". Jadi menurut pendapat ku, bukan karena niatan fashion kebaratan atau bla-bla... malah lebih ke culture, karena menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Di saat perintahnya adalah yang penting kerudung menutupi rambut sampai minimal dada jadi menggunakan bahan dan jenis kain apa pun InsyaAllah tidak masalah. Awalnya di Indonesia aku pikir kerudungan kayak gitu terlalu "berorientasi fashionable", eh ternyata disini justru efesien karena harga scraf relatif lebih murah dan mudah di dapat. Berhijab justru ngebuat penampilan seorang wanita selain lebih santun juga unik di kalangan masyarakat sini. Wajar saja karena mayoritas wanita membuka tubuhnya, malah kita membalut sampe kepala. Ini unik dan "Anti mainstream". Sebagai muslimah, aku sebenernya mendukung muslimah untuk bisa mengekspresikan diri dalam berhijab selain sebagai bentuk Ibadah. Yah tentunya tetap dengan tuntunan syari'ah Islam, seperti tetap menutupi aurat, tidak transparan, tidak berlebihan, bukan berniatan untuk menggoda cowok, dll. :)
Kadang perbedaan itu membuat "jarak", namun dengan semakin banyaknya orang cerdas dan berfikir luas di dunia ini membuat aku ga terlalu mengalami kesulitan untuk berteman. Di Belanda aku belajar di kelas internasional yang isinya mahasiswa dari beragam Negara, sebut saja perancis, denmark, negara di afrika, rusia, cina, jerman, hungaria, belanda, dan mungkin ada lagi lainnya (*tapi aku lupa atau tidak tau, hehe). Mereka semua sangat open mind dan menghargai perbedaan agama. Bahkan saat kami ada party di rumah salah satu teman sekelas, teman ku tersebut--yang tempatnya dijadikan tempat party--pun tidak berkebaratan saat aku meminta izin untuk meminjam space dirumahnya untuk ngelaksanain shalat. Dengan senang hati dia, menunjukanku ruangannya, dan tempat yang bisa untuk ngambil wudhu. Mereka tidak keberatan saat aku bilang, "aku ga bisa makan daging babi", atau "aku ga bisa minum alkohol", atau "aku habis ibadah", atau "aku mau ibadah".
Bergaul bukan berarti melebur, ada saatnya kita harus mengenyampingkan budaya tapi kalo masalah syari'ah itu harga mati. Karena ini urusannya adalah "antara Aku dan Tuhan". 
Setiap malam kamis, jumat, sabtu, minggu adalah jadwalnya "pesta mabok". Sebut saja "pesta mabok" karena kumpul-kumpul di sini selalu identik dengan alkohol. Sudah membudaya bukan hanya pada kalangan muda tapi juga seluruh usia. Biasanya muda-mudi berkumpul dulu di satu rumah lalu katawa, having fun plus alkoholan, jam 12 malam atau setelahnya kadang dilanjutkan dengan rame-rame ke pusat kota untuk ngumpul di Pub. Di sana (Pub) tempatnya joget-jogetan yang padat dan saat bermabok akan semakin meriah dan "menjadi", karena nyaris hampir semua sajian minuman-nya adalah alkohol kecuali kalau kamu pesan yang lain. 
Kalau jadwal jenis party yang seperti ini aku lebih memilih untuk tidak ikut. Bukan karena mau menutupi diri, cuma ingat pesan Nabi "kalau kamu mau baik berhijrahlah dari tempat yang mencondongkan mu untuk melakukan yang Allah tidak sukai". Karena tanpa kesana pun, ada saatnya kita menjadi tidak tekun ibadah, melakukan dosa, apalagi jika sering ke tempat tersebut malahan nimbulin banyak kemungkinan dosa lainnya. Tapi ga musti orang yang ke Pub itu negatif kok, karena ada juga teman Indonesia ku yang kesana namun hanya sebagai bentuk pengakraban saja tanpa "minum-minum alkohol". Tapi berdasarkan rekomendasi dari dia, katanya tempat itu sangat-sangat tidak baik, jadi sebaiknya jangan kesana "sekali" pun. Party yang biasa aku ikuti kalau acaranya bukan di Pub, dan tidak dimulai saat larut malam (*karena selesainya kapan :P kalau mulai aja sudah larut malam). Atau acara rekreasi ringan di siang hari bareng teman-teman. 
Namun tenang saja, meskipun aku atau muslimah berhijab lainnya agak berbeda seperti pada umumnya kaum muda di sini tapi semua itu tidak akan mengurangi rasa pertemanan di antara kami. Perbedaan itu justru membuat kita bisa saling melengkapi. Seperti kangkung tumis, mana mungkin enak kalau cuma kangkung yang ditumis. Dibutuhkan juga garam, bawang, dll untuk melangkapi cita rasa. Perbedaan ini justru membuat ku tersenyum sadar bahwa Bumi Allah ini begitu luar biasa beragam dan membuatku bisa berpikir dengan lebih luas.

4. Berhijab membantu aktifitas ibadah
Di Indonesia sangat banyak kita temui masjid, mushola, dimana tempat-tempat tersebut sudah lengkap dengan perlengkapan sholat seperti mukenah. Berbeda dengan disini yang cuma ada beberapa masjid, waktu shalat saja tidak pernah terdengar azan. Dan tidak ada sarana ibadah di tempat umum, seperti di station, mall, tempat wisata, dll. Kalau sudah begini, jangankan untuk shalat, berwudhu saja terkadang harus menggunakan debu mengingat kondisi yang tidak memungkinkan seperti di dalam kendaraan, jauh dari wc, dll. Nah, inilah fleksibelnya hijab. Karena dengan hijab, aku tidak perlu ribet lagi cari mukenah. Tinggal berwudhu langsung shalat, terkadang kalau sempat aku cuma cukup membawa sajadah. Karena biasanya kalau di tempat umum yang masih ada lowong kayak di taman yang lagi sepi, aku bisa shalat berdiri dimana saja. Namun lebih sering kalau tempat umumnya padat orang berlalu lalang atau tidak memungkinkan, aku shalat sambil duduk. Yang pasti shalat 5 waktu jadi lebih fleksibel di mana pun. Maka dari itu sebaiknya pengguna hijab menyempurnakan hijabnya, misalkan dari yang celana ketat jadi agak longgar, dari yang tidak berkaos kaki jadi berkaos kaki, dari yang jilbabnya transparan coba pilih yang agak tebal atau coba pakai dalaman kerudung. Kalau sudah menutupi aurat maka cukup bermodal air atau debu dengan sedikit space untuk shalat maka kamu bisa shalat dimana pun kamu mau dengan berhijab. :D

5. Berhijab membuat mu merasakan "muslim experience" 
Kamu mungkin pernah masuk ke hotel atau tempat tertentu yang butuh identifier, pengunjung biasa mungkin cuma terhenti sampai di lobi (*ruang tunggu di depan front office) atau kalau pun mau masuk maka mereka perlu mendaftar secara manual yang membuang waktu. Tetapi seorang dengan identifier bisa mengakses banyak fasilitas di ruang-ruang hotel tersebut dengan hanya meng-tab identifier nya. Dengan itu lah mereka merasakan sebuah "customer experience" yang berbeda. Seperti itulah kurang lebih aku menggambarkan poin pengalaman berhijab di Enschede dan Paris, dua kota dari Negeri Eropa ini. 

"akan kamu temukan orang yang tiba-tiba datang menghampirimu untuk hanya sekedar senyum dan mengucapkan "Assalamu'alakum" ".

Yah, hangat sekali rasanya melihat senyum nya meskipun mungkin dia punya native yang berbeda atau bahkan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali. Tapi kami dipersatukan dengan satu kata indah "Assalamu'alakum" tanda persaudaraanUngkapan itu merasuk lembut ke hati ku, bahkan membuat aku terharu melihat betapa ia mengenali aku hanya dari sehelai kain yang menutupi rambut ku ini. Dan seketika itu juga hati-hati kami saling "connecting", merasa bahwa kami menyembah Tuhan yang sama dan berpegang pada Risalah seorang Nabi Pengukir umat terbaik (dia Nabi Muhammad saw.).
Beberapa kali dalam perjalanan tiba-tiba ada pria paruh baya yang melihat aku dengan senyum sambil mengatakan "masyaAllah". Kalau di Indonesia masih ada yang salah sangka tentang makna "masyaAllah". "MasyaAllah" sebenarnya digunakan saat kita melihat hal-hal yang baik. 
"MasyaAllah digunakan untuk menunjukkan kekaguman terhadap seseorang atau kejadian. Ini digunakan sebagai ekspresi penghargaan, sementara dalam waktu yang sama juga sebagai pengingat bahwa semua pencapaian bisa terjadi karena kehendak-Nya. (Sumber: inilahrisalahislam.blogspot.nl dan id.wikipedia.org)."
Pengalaman lain, saat di Paris ada yang tiba-tiba menawarkan aku untuk nginap di rumahnya secara gratis karena dia tahu aku seorang muslim. Aku juga pernah tiba-tiba diajak ngobrol dengan seorang pria dengan bahasa yang tidak aku kenali "bahasa apa itu", setelah diperhatikan sepertinya itu salah satu bahasa di Negara mayoritas Islam bagian tertentu. Awalnya aku terkejut kenapa pria (sekitar usia 28-30 an) tersebut tiba-tiba ngajak ngobrol dengan bahasa seperti itu. Aku cuma bisa jawab, maaf aku tidak mengerti, aku bisanya bahasa inggris. Baru belakangan aku tau dia seorang muslim, saat temannya datang menyapanya, dan mereka ngobrol dengan sesekali megucapkan kalimat tayyibah. Kalau tidak berhijab, mungkin pengalaman ini akan tidak mudah didapat. hehe.. :D

(Aku dan hijab, seutas rangkaian kisah Berhijab di Negeri Eropa)


Sabtu, 31 May 2014
Enschede, Netherlands