Pages

Ads 468x60px

Labels

Sunday, 22 March 2015

Kalo Anda Bermasalah, Berbahagialah?!

Membaca judul di atas mungkin Anda bertanya-tanya, apakah saya tak salah tulis. Anda mungkin berkata, ''Bukankah akan lebih berbahagia kalau kita sama sekali tak punya masalah?'' Kalau demikian, Anda salah besar! Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada permasalahan. Namun, tahukah Anda bahwa di balik setiap masalah terkandung suatu peluang emas dan kesempatan yang besar untuk maju? 
Ada kata-kata bijak dari Norman V Peale yang patut Anda renungkan. Dalam bukunya You Can If You Think You Can, ia mengatakan, ''Apabila Tuhan ingin menghadiahkan sesuatu yang berharga, bagaimanakah Ia memberikannya kepada Anda? Apakah Ia menyampaikan dalam bentuk suatu kiriman yang indah dalam nampan perak? Tidak! Sebaliknya Tuhan membungkusnya dalam suatu masalah yang pelik, lalu melihat dari jauh apakah Anda sanggup membuka bungkusan yang ruwet itu, dan menemukan isinya yang sangat berharga, bagaikan sebutir mutiara yang mahal harganya yang tersembunyi dalam kulit kerang.'' 
Pernyataan di atas bukan sekadar kata-kata indah untuk menghibur Anda yang sedang kalut menghadapi suatu masalah. Ini adalah perubahan paradigma dan cara berpikir. Keadaan apa pun yang kita hadapi sebenarnya bersifat netral. Kitalah yang memberikan label positif atau negatif terhadapnya. Seperti yang dikatakan filsuf Cina, I Ching, ''Peristiwanya sendiri tidak penting, tapi respons terhadap peristiwa itu adalah segala-galanya.'' 
Berikut ini contoh sederhana. Sebagai seorang fasilitator yang memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, saya pernah menghadapi penolakan dari klien semata-mata karena usia saya yang dianggap terlalu muda. Saya pernah menganggap ini masalah besar. Bagaimana tidak? Ini menyangkut kredibilitas saya. Saya kemudian memikirkannya berhari-hari. Kepercayaan diri saya mulai terganggu. 
Lama-kelamaan saya sadar bahwa penolakan semacam ini adalah hal biasa. Justru ini adalah kesempatan untuk berkembang. Karena itu, saya segera menggali kebutuhan klien dan mencari pendekatan yang lebih dapat diterima. Saya terus meningkatkan kompetensi, sampai akhirnya saya dapat diterima oleh perusahaan tersebut. Kalau demikian, penolakan awal itu sama sekali bukan sebuah masalah, tapi sebuah peluang yang sangat berharga. 
Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh. Sayang, lebih banyak orang yang menganggap masalah sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mereka tak mampu melihat betapa mahalnya mutiara yang terkandung dalam setiap masalah. Ibarat mendaki gunung, ada orang yang bertipe Quitters. Mereka mundur teratur dan menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung. 
Ada orang yang bertipe Campers, yang mendaki sampai ketinggian tertentu kemudian mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang datar dan nyaman untuk berkemah. Mereka hanya mencapai sedikit kesuksesan tapi sudah merasa puas dengan hal itu. 
Tipe ketiga adalah Climbers yaitu orang yang seumur hidupnya melakukan pendakian, dan tak pernah membiarkan apapun menghalangi pendakiannya. Orang seperti ini senantiasa melihat hidup ini sebagai ujian dan tantangan. Ia dapat mencapai puncak gunung karena memiliki mentalitas yang jauh lebih tinggi, mengalahkan tingginya gunung. Orang dengan tipe ini benar-benar meyakini apa yang pernah dikatakan Dag Hammarskjold, ''Jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena begitu ada di puncak, Anda akan melihat betapa rendahnya gunung itu.'' 
Semua masalah sebenarnya adalah rahmat terselubung bagi kita. Mereka ''berjasa'' karena dapat membuat kita lebih baik, lebih arif, lebih bijaksana, dan lebih sabar. Anda baru dapat disebut manajer yang baik kalau Anda mampu memimpin seorang bawahan yang sulit, yang membuat para manajer lain angkat tangan. Anda baru menjadi orang tua yang baik kalau Anda dapat menangani anak yang bermasalah, atau pun menantu yang keras kepala, yang melakukan sesuatu melebihi batas kesabaran Anda. Anda baru dapat disebut profesional kalau Anda mampu menangani pelanggan yang cerewet yang sering mengeluh dan banyak maunya. 
Untuk mencapai kesuksesan, Anda perlu memiliki adversity quotient, yaitu kecerdasan dan daya tahan yang tinggi untuk menghadapi masalah. Kecerdasan tersebut dimulai dari mengubah pola pikir dan paradigma Anda sendiri. Mulailah melihat semua masalah yang Anda hadapi sebagai peluang, kesempatan, dan rahmat. Anda akan merasa tertantang, namun tetap mampu menjalani hidup yang tenang dan damai. 
Berbahagialah jika Anda memiliki masalah. Itu artinya Anda sedang hidup dan berkembang. Justru bila Anda tak punya masalah sama sekali, saya sarankan Anda segera berdoa, ''Ya Tuhan. Apakah Kau tak percaya lagi padaku, sehingga Kau tak mempercayakan satu pun kesulitan hidup untuk saya atasi?'' Dengan berdoa demikian Anda tak perlu khawatir. Tuhan amat mengetahui kemampuan kita masing-masing. Ia tak akan pernah memberikan suatu beban yang kita tak sanggup memikulnya. 
(diambil dari tulisannya Kang Arvan Pradiansyah – LIFE IS BEAUTIFUL / Elex Media Komputindo) 

Editor:
Mukhamad Sya'duddin Taftazani

Friday, 20 March 2015

Belanja di ''Toko Kebahagiaan''

Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan bertanya, 
''Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?'' Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab, ''Kira-kira sepuluh tahun.'' 

Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut, 
''Begitu lama,?'' tanyanya tak percaya. 

''Tidak,'' kata si orang bijak, ''Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun.'' 

Anak muda itu bertambah bingung. 
''Mengapa Guru lipatkan dua,?'' tanyanya keheranan. Orang bijak kemudian berkata, ''Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan 30 tahun.'' 

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika membaca cerita di atas? Tahukah Anda mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya, semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan? 
Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan? Sebagaimana yang telah sering saya sampaikan dalam rubrik ini, kebahagiaan hanya akan dicapai kalau kita mau melakukan pencarian ke dalam. Namun, itu semua tidak dapat Anda peroleh dengan cuma-cuma. Anda harus mau membayar harganya. 
Agar lebih mudah saya akan menggunakan analogi sebuah toko. Nama toko itu adalah ''Toko Kebahagiaan.'' Di sana tidak ada barang yang bernama ''kebahagiaan'' karena ''kebahagiaan'' itu sendiri tidak dijual. Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain : kesabaran, keikhlasan, rasa syukur, kasih sayang, kejujuran, kepasrahan, dan rela memaafkan. Inilah ''barang-barang'' yang Anda perlukan untuk mencapai kebahagiaan. 
Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi. Yang dijual di sini adalah benih. Jadi, kalau Anda tertarik untuk membeli ''kesabaran'' Anda hanya akan mendapatkan ''benih kesabaran.'' Karena itu, segera setelah Anda pulang ke rumah Anda harus berusaha keras untuk menumbuhkan benih tersebut sampai ia menghasilkan buah kesabaran. 
Setiap benih yang Anda beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus Anda pecahkan. Hanya bila Anda mampu memecahkan persoalan tersebut, Anda akan menuai buahnya. Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya. ''kesabaran tingkat 1,'' misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas, atau pengemudi bus yang ugal-ugalan. ''Kesabaran tingkat 2'' berarti menghadapi atasan yang sewenang-wenang, atau kawan yang suka memfitnah. ''Kesabaran tingkat 3'', misalnya, adalah menghadapi anak Anda yang terkena autisme. 
Menu yang lain misalnya ''bersyukur.'' ''Bersyukur tingkat 1'' adalah bersyukur di kala senang, sementara ''bersyukur tingkat 2'' adalah bersyukur di kala susah. ''Kejujuran tingkat 1,'' misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara ''kejujuran tingkat 2'' adalah kejujuran dalam kondisi terancam. Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di ''Toko Kebahagiaan''. 
Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan kualitas karakter yang ditimbulkannya. Yang termahal ternyata adalah ''kesabaran'' karena kesabaran ini merupakan bahan baku dari segala macam produk yang dijual di sana. 
Seorang filsuf Thomas Paine pernah mengatakan, ''Apa yang kita peroleh dengan terlalu mudah pasti kurang kita hargai. Hanya harga yang mahallah yang memberi nilai kepada segalanya. Tuhan tahu bagaimana memasang harga yang tepat pada barang-barangnya.'' 
Dengan cara pandang seperti ini kita akan menghadapi masalah secara berbeda. Kita akan bersahabat dengan masalah. Kita pun akan menyambut setiap masalah yang ada dengan penuh kegembiraan karena dalam setiap masalah senantiasa terkandung ''obat dan vitamin'' yang sangat kita butuhkan. 
Dengan demikian Anda akan ''berterima kasih'' kepada orang-orang yang telah menyusahkan Anda karena mereka memang ''diutus'' untuk membantu Anda. Pengemudi yang ugal-ugalan, tetangga yang jahat, atasan yang sewenang-wenang adalah peluang untuk membentuk kesabaran. Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk menumbuhkan konsentrasi. Orang-orang yang tak tahu berterima kasih adalah peluang untuk menumbuhkan perasaan kasih tanpa syarat. Orang-orang yang menyakiti Anda adalah peluang untuk menumbuhkan kualitas rela memaafkan. 
Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini: 
''Aku memohon kekuatan, dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku kuat. Aku memohon kebijaksanaan, dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan. Aku memohon kemakmuran, dan Tuhan memberiku tubuh dan otak untuk bekerja. Aku memohon keberanian, dan Tuhan memberiku berbagai bahaya untuk aku atasi. Aku memohon cinta, dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku tolong. Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan. Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan, tetapi aku mendapatkan apapun yang aku butuhkan.'' 
(diambil dari tulisannya Kang Arvan Pradiansyah) 

Editor:
Mukhamad Sya'duddin Taftazani

Biarkan Cahaya Itu Masuk

Seorang tua yang kaya raya sedang berbaring di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Di saat-saat terakhir, ia mengumpulkan keempat istrinya. Ia ingin mengajak mereka untuk menemaninya sampai ke alam baqa. 
Dipanggillah istrinya satu persatu. Dimulai dari istri keempatnya, yang paling muda sekaligus paling cantik. Istri ini berkata, ''Maafkan aku. Tentu saja aku sangat sedih memikirkan kepergianmu, tapi aku masih memiliki banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku tak dapat menemanimu.'' Kecewa dengan jawaban itu, si lelaki memanggil istri ketiganya, namun istrinya ini mengatakan, ''Aku hanya dapat menemanimu sampai engkau menghembuskan nafasmu yang terakhir.'' 
Istri keduanyapun dipanggil. ''Aku akan menemanimu, tetapi hanya sampai di pemakaman saja,'' ujarnya. Hampir putus asa, akhirnya ia memanggil istri pertamanya. Dengan mantap si istri berkata, ''Aku akan menyertaimu kemanapun engkau pergi.'' 
Cerita inspiratif ini sebenarnya adalah gambaran kehidupan kita sendiri. Istri keempat adalah analogi dari harta yang kita kumpulkan selama kita hidup. Istri ketiga adalah tubuh kasar kita yang amat kita perhatikan dan selalu kita rawat. Istri kedua adalah analogi dari keluarga kita. Istri pertama yang paling setia adalah gambaran tubuh halus kita, jiwa dan spiritualitas kita. Inilah yang akan menyertai kita kemanapun kita pergi. 
Ironisnya, selama hidup, kita telah menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk urusan harta, badan, dan keluarga kita. Padahal cepat atau lambat mereka akan meninggalkan kita. ''Harta'' satu-satunya yang paling setia yaitu jiwa kita justru sering kita abaikan. 
Kesalahan terbesar yang sering kita lakukan adalah menyangka bahwa kita adalah makhluk fisik. Banyak orang beranggapan bahwa ''Aku adalah tubuhku.'' Karena itu, seluruh hidupnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Mereka mengumpulkan harta dan memenuhi nafsu badannya seakan-akan mereka akan hidup untuk selama-lamanya. 
Perlombaan mengumpulkan harta ini melahirkan keserakahan dan korupsi. Manusia-manusia semacam ini banyak sekali jumlahnya di negeri kita. Celakanya lagi merekalah yang memegang kekuasaan hampir di segala lapisan. Orang-orang ini tak pernah melewatkan kesempatan sekecil apapun. Kekuasaan bagi mereka adalah mesin uang yang amat efektif. 
Padahal manusia sama sekali bukan makhluk fisik. Manusia adalah makhluk spiritual. Kita bukanlah tubuh kita, kita adalah jiwa kita. Sejak pertama kali diciptakan, kita adalah makhluk spiritual, dan sampai kapanpun kita tetap makhluk spiritual. 
Hanya ketika berada di dunialah jiwa kita membutuhkan badan sebagai rumah kita. Tapi, badan ini lama kelamaan akan rusak dan aus. Pada akhirnya badan tak dapat lagi kita gunakan. Kita menyebutnya meninggal dunia. Namun, ini tidak sama dengan kematian. Kita hanya meninggalkan dunia tetapi kita masih tetap hidup. 
Kalau kita menyadari akan kenyataan sederhana ini, kita tak akan menjadi manusia yang rakus dan serakah. Kita akan sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara saja. Memang benar, kita tak dapat hidup tanpa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik kita seperti sandang, pangan, dan papan. Tapi, kita tahu bahwa di balik wujud kasar kita ada jiwa yang merupakan milik kita selama-lamanya. Karena itu, kita tak ingin merusak jiwa ini untuk memenuhi kebutuhan fisik kita yang sangat sementara itu. 
Orang yang korupsi dan serakah sebetulnya memiliki satu tujuan : kebahagiaan. Namun, karena mereka menganggap dirinya hanya makhluk fisik, maka kebahagiaan itu diterjemahkan menjadi : mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Padahal harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah membuat mereka puas, tetapi hanya membuat mereka bertambah haus. Mereka tak sadar bahwa sumber kebahagiaan yang abadi terdapat di dalam jiwa mereka sendiri. Mereka tak pernah menyelami kekayaan terbesar yang mereka miliki itu 
Keserakahan terhadap dunia telah merusak dan menggerogoti jiwa mereka. Keserakahan ini juga telah menutupi seluruh hati mereka sehingga mereka seakan-akan tak pernah mendapatkan ''cahaya'' dari Tuhan. Mereka tak pernah sadar pada sumber kebahagiaan yang tersedia dalam jiwa mereka yang sebenarnya dapat mereka akses setiap saat. 
Sebagai penutup, saya ingin mengemukakan cerita seorang bijak yang bertanya pada murid-muridnya, ''Dimana Tuhan ada?'' Murid-muridnya yang keheranan itu dengan tangkas menjawab, ''Di mana-mana.'' Namun, orang bijak itu mengatakan, ''Tidak. Tuhan hanya ada ketika manusia membiarkanNya masuk.'' 
Orang bijak ini benar. Orang-orang yang tamak dan serakah telah menutup seluruh ruangan hati mereka dengan harta benda. Tak ada lagi tempat yang dibiarkannya tersisa untuk cahaya Ilahi. Untuk itulah sebetulnya kita perlu berpuasa karena berpuasa adalah sebuah terapi untuk mengurangi ketergantungan kita pada dunia fisik dan membuka pintu pada dunia spiritual. Lapar yang kita rasakan pada hakikatnya adalah upaya memberikan ruangan pada cahaya Ilahi untuk masuk. 
(diambil dari tulisannya Kang Arvan Pradiansyah – LIFE IS BEAUTIFUL / Elex Media Komputindo) 


Editor:
Mukhamad Sya'duddin Taftazani

Kita Masih Diberi Waktu ?!

Apakah makna pergantian tahun bagi Anda? Bagaimana pula cara yang biasa Anda lakukan untuk menyambut datangnya tahun baru? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang senantiasa muncul di kepala saya setiap menghadapi pergantian tahun. Ini memang pertanyaan penting yang amat perlu kita renungkan.

Pertanyaan mengenai makna mungkin agak sulit dijawab langsung. Anda perlu meluangkan waktu sebentar untuk merenungkannya. Sebaliknya pertanyaan mengenai cara sangat mudah dijawab. Pada dasarnya ada dua cara yang dilakukan orang menyambut tahun baru. Pertama, dengan bergembira dan berpesta, mulai dari pesta rakyat sampai dengan perhelatan di hotel-hotel berbintang. Kedua, dengan merenung, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama-sama dalam satu forum. Kedua cara ini didasari oleh dua pandangan yang berbeda dalam melihat dunia.

Orang yang merayakan tahun baru dengan berpesta mungkin memandang hidup ini sebagai sebuah garis lurus atau sebuah tangga. Dengan demikian pergantian tahun dipandang sebagai umur yang bertambah, sebagai sebuah pencapaian yang patut dirayakan, sama seperti halnya merayakan ulang tahun kita. Ini tentunya berbeda dengan mereka yang menyambut tahun baru dengan renungan. Bagi mereka hidup adalah sebuah lingkaran.

Mengapa demikian? Marilah kita lihat. Kehidupan ini adalah laksana sebuah perjalanan. Kita memulainya dari satu titik, dan kita akan mengakhiri perjalanan kita persis di titik yang sama. Dalam bahasa agama dikatakan bahwa kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada Tuhan.

Dahulu kita tidak ada dan nantinya juga tidak ada lagi. Kita memulai perjalanan kita dalam keadaan telanjang dan tidak memiliki apa-apa. Kita pun akan mengakhiri perjalanan kita dengan cara yang sama.

Coba renungkan sebentar analogi di atas. Kalau demikian, begitu Anda memulai perjalanan sebetulnya Anda sedang berjalan untuk kembali ke titik awal. Dalam sebuah lingkaran, pertambahan senantiasa berarti pengurangan. Semakin umur Anda bertambah, semakin pendeklah umur Anda dan semakin dekatlah Anda pada ketiadaan.

Panjang pendeknya umur seseorang hanyalah ditentukan oleh besar kecilnya lingkaran. Semakin besar lingkaran tersebut semakin lamalah perjalanan yang akan Anda tempuh, sebaliknya semakin kecil lingkaran, semakin pendeklah perjalanan Anda.

Nah, kalau demikian, pergantian tahun hanyalah berarti satu hal : Anda sudah semakin dekat dengan kematian. Karena itu, Anda harus waspada. Bergembira tentunya boleh-boleh saja. Namun, seringkali kegembiraan membuat kita lupa dan terlena.

Masalahnya, kita tak pernah tahu berapa besar lingkaran yang kita miliki. Kita tak tahu berapa lama lagi kita akan kembali ke titik awal. Kita tak tahu kapan ''kontrak'' kita habis. Tidak ada tanda-tanda yang jelas untuk itu. Orang muda yang segar bugar bisa dipanggil secara mendadak. Orang yang sedang berada di puncak karier sekonyong-konyong bisa berpulang kepada Tuhan. Semuanya terjadi secara mengejutkan dan tiba-tiba.

Sebetulnya kalau kita mau merenungkan hidup ini secara lebih dalam, ada tanda-tanda yang bisa mengingatkan kita pada hal ini. Itulah yang terjadi pada saat kita tidur. Tidur itu adalah saudaranya mati. Bukankah kondisi orang yang tidur persis sama seperti orang mati? Kita tak bisa berkata apa-apa. Telinga kita terbuka lebar tapi kita tak bisa mendengar. Posisi kitapun tak jauh beda dengan orang yang mati.

Karena itulah kita perlu berdoa sebelum tidur agar kita tidur dalam kebaikan dan rahmat Tuhan. Begitu kita terbangun di pagi hari kita pun perlu mengucapkan syukur kepada Tuhan yang memberikan lagi satu hari yang indah untuk kita nikmati. Demikianlah cara kita hidup dari hari ke hari. Tiap hari kita sebenarnya melalui sebuah proses yang berulang-ulang. Pagi-pagi kita hidup, beraktivitas, dan malamnya kembali ''mati.'' Sampai pada suatu saat nanti kita akan tidur untuk selama-lamanya.

Kalau Anda berpikir demikian, Anda tak akan pernah melewatkan waktu Anda dengan berhura-hura. Anda pun akan menjauhi kemarahan dan permusuhan. Hidup memang cuma sebentar, karena itu mari kita manfaatkan waktu kita bersama orang-orang yang kita cintai. Setiap kali bertemu dan berpisah dengan siapapun, kita selalu akan memastikan bahwa kita telah memberikan yang terbaik, sebab siapa tahu itu adalah pertemuan kita yang terakhir.

Hidup adalah anugerah karena itu marilah kita isi dengan kebaikan dan cinta kasih. Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah lagu inspiratif dari Ebiet G Ade: ''Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu/ Entah sampai kapan tak ada yang bakal dapat menghitung/Hanya atas kasihNya hanya atas kehendakNya, kita masih bertemu matahari/ Kepada rumpun ilalang, kepada bintang gemintang/ Kita dapat mencoba meminjam catatannya.''

''Sampai kapankah gerangan, waktu yang masih tersisa/ Semuanya menggeleng, semuanya terdiam/ Semuanya menjawab tak mengerti/ Yang terbaik hanyalah segeralah bersujud/ Mumpung kita masih diberi waktu.''.

(diambil dari tulisannya Kang Arvan Pradiansyah)

Editor:
Mukhamad Sya'duddin Taftazani