Hijab adalah harga mati untuk ku (InsyaAllah),
namun sekali lagi dunia itu memang penuh dengan pilihan. Pernah ada yang bertanya
"Dede kenapa kamu menutupi rambut mu seperti ini?", aku ngejawab:
Ini bentuk penghambaan ku ke Tuhan. Aku beragama islam, dan wanita islam
dituntun untuk menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan kami seperti ini. Lalu dia bertanya lagi "lalu kenapa kamu tidak
bercadar?", aku menjawab: Untuk beberapa Negara memang punya perbedaan
dalam cara berpakaian tapi itu ga masalah karena intinya adalah menutup aurat (seluruh tubuh, kecuali telapak tangan dan wajah).
Atau aku juga pernah ditanya "kenapa kamu berhijab lalu ada muslimah lain
tidak?", Itu pilihan dia tapi tuntunan islam muslimah itu berhijab, jawabku.
"Aku, kamu, mereka tentu saja manusia punya jalan pikiran dan hati yang berbeda"
mungkin aku cuma bisa bilang "pilihan" seperti hal nya
ada pilihan "surga dan neraka, bahagia dan sedih, dan seterusnya". Tapi
aku percaya bahwa semuanya hanya menunggu waktu, pada akhirnya aku yakin
setiap muslimah punya keinginan yang kuat untuk berhijab tapi mungkin skenario
kami saja yang berbeda "aku duluan lalu kamu, atau kalian duluan
baru aku, atau apa pun alasannya".
Yang pasti hijab ini adalah sebuah
"penghambaan" seorang muslimah kepada Nya. Terlebih di Negeri
Minoritas muslim ini, mungkin akan ada banyak hal unik bagaimana seorang wanita
berhijab dipandang. Seperti yang pernah aku alami dalam perjalanan ke
Paris, tiba-tiba ada seorang dari London yang berbicara tentang
teroris. Tapi sungguh muslim bukanlah teroris, disaat itu terjadi sebenarnya
karena ada kelompok sangat super minoritas (garis keras) di dalam islam yang
punya pemikiran berbeda.
Namun penjelasan saja
sepertinya itu belum cukup, mengingat banyaknya isu negatif tentang
keberdaan muslim. Sesungguhnya menjadi seorang penganut islam menuntun
seseorang untuk menjadi penebar kebaikan. Kalau pun ada sisi negatif, pasti itu
hadir dari sisi manusiawi seseorang tersebut, baik itu aku atau pun
muslim lainnya. Kami dituntun untuk menebarkan kebaikan, senyum,
saling menolong, bersabar, cinta perdamaian, taat, rendah hati, tidak
mendendam, loyalitas, profesional, tekun, senang memberi, dan
lain-lain.
"Tak kenal maka tak cinta, itulah mungkin sebuah ungkapan yang aku tawarkan kepada siapa pun Anda yang masih berpandangan buruk pada muslim"
Saling menghargai dan hidup berdampingan dengan penuh
bahagia. Toleransi itu bukan berarti seseorang harus mengikuti cara berlaku
penganut yang lain, tetapi terbuka menerima perbedaan dan menghargainya sebagai
suatu "pilihan kepercayaan".
Pengalaman pertama aku berhijab di Negeri Eropa saat
menginjakan kaki di Belanda. Waktu itu aku sedang menunggu kereta
menuju Enschede dari Amsterdam (Schipol). Aku menemui
seorang Bapak (*kayaknya bule belanda) sedang berdiri sekitar selangkah di
samping ku. Saat itu aku melihat secara sekilas ada sebuah
bungkusan--berwarna coklat yang dari tulisannya sepertinya sebungkus
humburger--jatuh dari tas-nya. Dengan cekatan aku langsung mengambil
bungkusan itu dan menyerahkannya dengan baik-baik pada Bapak itu seraya berkata "Ini
Bapak punya?". Seketika dia langsung merespon seperti agak kaget, kuatir,
ngeri, sambil dengan tegas mengatakan "NO!" dan pergi menjauh. Untuk
ukuran budaya Indonesia aku pikir itu agak kasar, tapi aku cuma berpositif sangka mungkin beliau memang
sedang buru-buru atau mungkin memang nada bicara disini seperti itu.
Dan hanya beberapa menit setelah itu seorang kenalan
seperjalanan ku (Ibu Nisa) yang juga seorang muslimah berhijab mengatakan
"Kamu harus memaklumi De' (*Nama ku Dede), disini mereka memang bersikap
agak tidak suka dengan seorang muslim apalagi jika dia berhijab salah satunya
seperti respon Bapak yang tadi". (Kurang lebih inti penyampaiannya seperti
itu).
Waktu terus bergulir, tidak terasa sudah 4 bulan lamanya aku
menjalani kehidupan sebagai seorang muslimah di Negeri minoritas muslim ini.
Dan selama itu pula aku menemukan beberapa fakta dari kehidupan berhijab di
sini.
1. Berhijab tidak dilarang
Mungkin kamu pernah mendengar kabar
kalau berhijab dilarang di Eropa. Khususnya di Belanda, dengan tulisan
ini aku menegaskan, "Tidak sama sekali!". Ini lah buah
manis dari yang namanya HAM (Hak Asasi Manusia) yang diakui seluruh dunia
sehingga tidak ada hak sama sekali bagi seseorang melarang orang lain berbuat
sesuatu, terlebih hal tersebut sama sekali tidak merugikannya. Toh berhijab
cuma perkara mudah, yakni menutupi seluruh badan (kaki, lengan tangan, badan),
ditambah sehelai kerudung (dalam bentuk apa pun itu untuk menutupi seluruh
rambut sampai minimal di dada). Jadi berhijab sama sekali tidak dilarang,
pun saat aku mengunjungi Paris tidak jauh berbeda dengan Belanda.
Bahkan uniknya pengguna hijab di Paris justru terlihat lebih banyak daripada di
lingkungan Belanda.
Jangan kuatir untuk menggunakan hijab,
bayangin jika dalam keadaan sedang tidak mengingat Allah saja, kita
selalu merasa dilimpahkan banyak rahmat oleh-Nya. Apalagi saat kita
menjalani hari untuk tetap konsisten atas penghambaan pada Nya, InsyaAllah
keberkahan akan selalu terlimpah. :)
2. Berhijab kadang membuat performance jadi sesuatu yang "tanda tanya"
Ini sebenarnya cuma pengalaman pribadi dan lebih subjektif, tapi
mungkin bisa sedikit memberi gambaran. Mungkin karena muslimah berhijab itu
jarang, dan prestasi lebih banyak berkilau oleh yang bukan berhijab dan
bukan muslim. Itu membuat aku pada
awalnya sempat merasa "nothing". Namun
Alhamdulillah, betapa terkejutnya aku karena pada sebuah matakuliah "horor" (*sebutlah
begitu, karena dosennya terkenal sangat "selera tinggi alias ketat (*ups
Sorry)" dalam memberi nilai, apalagi untuk satu matakuilah tersebut ada
dua sub mata kuliah yang keduanya harus dapat nilai excellence kalau
mau dapat sempurna. Dan "wow!", Subhanallah hasil akhir membuat
bukan hanya aku yang terkejut
tapi juga teman-teman sekelas. Seperti yang diduga dosennya menilai dengan sangat
jeli dan tes yang cukup ketat, terbukti dengan banyaknya komentar waktu tidak cukup, nilai yang dikasih
terlalu kecil, dll. Dan aku dapatkan
nilai sempurna, bisa di bilang seperti nilai pencilan (*tinggi dari
rata-rata nilai kelas) yakni 9 koma dari sekala 10. Ada teman-teman yang bertanya
"Bagaimana bisa?..", "kamu belajar kayak bagaimana?..", "Apa rahasianya?..".
"Mungkin hal ini mengejutkan karena seorang wanita yang berbalut kain dikepalanya, ternyata diam-diam lebih dari yang disangka".
Dan untuk mempersingkat jawaban pertanyaan-pertanyaan itu jadi aku pun
menjawab, "I was just lucky". Tapi dibalik itu ada do'a yang berderet
panjang penuh pengharapan dan kepasrahan, dan ikhtiar tentunya. Islam
mengajarkan aku untuk
"Bersungguh-sungguh".
Bolehlah aku kutip
kata teman ku, "kita perlu hard work dan hard play" dan
mungkin aku tambahin jadi
"kita perlu hard work, hard play dengan smart way". Hard work
maksudnya "Kalau lagi belajar, yah belajar!", ga peduli berapa halaman
tebalnya, ga peduli sampai "pantat keram" (*ups sorry) waktu duduk
belajar, ga peduli meski ngulang baca sampai 3 kali, ga peduli harus ngapal
gimana modelnya, sampe kepala berasap (*ah lebay haha) semuanya dijalani dengan
totalitas. Hard play maksudnya kalo lagi libur, ga ujian baru kita bermain ria.
Namun semuanya itu perlu smart way, ngejawab soal pake strategy yang efektif biar meskipun punya waktu yang sedikit tapi bisa dijawab dengan optimal,
rencanain liburan yang efesien biar duitnya bisa dipakai jalan-jalan ke banyak tempat, dan semua dari segalanya meminta terus
pertolongan Allah.
Pada sisi mana pun "performance" itu bukan sesuatu
yang bisa dinilai di awal, tapi di akhir. Hijab justru menjadi motivasi untuk
selalu melakukan yang terbaik.
"Aku dan Kamu adalah benar-benar Aku dan Kamu, bukan perkara hijab. Hijab adalah penghambaanku pada Allah dalam menjalani hidup."
Kalau orang lain ngelilitin scraf dileher, para penghijab dengan
rapi dan berseni menutupi bagian rambutnya dan dadanya dengan scraf itu. Owh
yah ngomong-ngomong salah satu fenomena kenapa muslimah di eropa kebanyakan
menggunakan scraf--atau di Indonesia kita bilang pashmina, itu mungkin alasannya sederhana "karena disini yang bisa mudah dibeli sebagai penutup kepala
yah scraf". Jadi menurut pendapat ku,
bukan karena niatan fashion kebaratan atau bla-bla... malah lebih ke
culture, karena menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Di saat perintahnya adalah yang penting
kerudung menutupi rambut sampai minimal dada jadi menggunakan bahan dan jenis
kain apa pun InsyaAllah tidak masalah. Awalnya di Indonesia aku pikir kerudungan kayak gitu terlalu
"berorientasi fashionable", eh ternyata disini justru
efesien karena harga scraf relatif lebih murah dan mudah di dapat. Berhijab justru ngebuat penampilan seorang wanita selain lebih santun juga unik di kalangan
masyarakat sini. Wajar saja karena mayoritas wanita membuka tubuhnya, malah
kita membalut sampe kepala. Ini unik dan "Anti mainstream". Sebagai muslimah, aku sebenernya mendukung muslimah untuk bisa mengekspresikan diri dalam berhijab selain sebagai bentuk
Ibadah. Yah tentunya tetap dengan tuntunan syari'ah Islam, seperti tetap menutupi aurat, tidak transparan, tidak berlebihan, bukan berniatan untuk menggoda cowok, dll. :)
Kadang perbedaan itu membuat "jarak", namun dengan
semakin banyaknya orang cerdas dan berfikir luas di dunia ini membuat aku ga terlalu mengalami kesulitan untuk berteman. Di Belanda aku belajar di kelas
internasional yang isinya mahasiswa dari beragam Negara, sebut saja perancis,
denmark, negara di afrika, rusia, cina, jerman, hungaria, belanda, dan mungkin
ada lagi lainnya (*tapi aku lupa atau tidak tau, hehe). Mereka semua sangat
open mind dan menghargai perbedaan agama. Bahkan saat kami ada party di rumah salah satu teman sekelas, teman ku tersebut--yang tempatnya dijadikan tempat party--pun tidak berkebaratan saat aku
meminta izin untuk meminjam space dirumahnya untuk ngelaksanain shalat. Dengan
senang hati dia, menunjukanku ruangannya, dan tempat yang bisa untuk ngambil
wudhu. Mereka tidak keberatan saat aku bilang, "aku ga bisa makan daging
babi", atau "aku ga bisa minum alkohol", atau "aku habis
ibadah", atau "aku mau ibadah".
Bergaul bukan berarti melebur, ada saatnya kita harus
mengenyampingkan budaya tapi kalo masalah syari'ah itu harga mati. Karena ini
urusannya adalah "antara Aku dan Tuhan".
Setiap malam kamis, jumat, sabtu, minggu adalah jadwalnya "pesta
mabok". Sebut saja "pesta mabok" karena kumpul-kumpul di sini selalu identik dengan alkohol. Sudah membudaya bukan hanya pada kalangan muda tapi juga seluruh usia. Biasanya muda-mudi berkumpul dulu di satu rumah lalu katawa, having
fun plus alkoholan, jam 12 malam atau setelahnya kadang dilanjutkan dengan rame-rame ke
pusat kota untuk ngumpul di Pub. Di sana (Pub) tempatnya joget-jogetan yang padat dan
saat bermabok akan semakin meriah dan "menjadi", karena nyaris hampir
semua sajian minuman-nya adalah alkohol kecuali kalau kamu pesan yang lain.
Kalau jadwal jenis party yang seperti ini aku lebih memilih
untuk tidak ikut. Bukan karena mau menutupi diri, cuma ingat pesan Nabi
"kalau kamu mau baik berhijrahlah dari tempat yang mencondongkan
mu untuk melakukan yang Allah tidak sukai". Karena tanpa kesana pun,
ada saatnya kita menjadi tidak tekun ibadah, melakukan dosa, apalagi jika
sering ke tempat tersebut malahan nimbulin banyak kemungkinan dosa lainnya.
Tapi ga musti orang yang ke Pub itu negatif kok, karena ada juga teman
Indonesia ku yang kesana namun
hanya sebagai bentuk pengakraban saja tanpa "minum-minum alkohol".
Tapi berdasarkan rekomendasi dari dia, katanya tempat itu sangat-sangat
tidak baik, jadi sebaiknya jangan kesana "sekali" pun. Party
yang biasa aku ikuti kalau acaranya bukan di Pub, dan tidak dimulai saat larut
malam (*karena selesainya kapan :P kalau mulai aja sudah larut malam). Atau
acara rekreasi ringan di siang hari bareng teman-teman.
Namun tenang saja, meskipun aku atau muslimah berhijab lainnya agak berbeda seperti pada
umumnya kaum muda di sini tapi semua itu tidak akan mengurangi rasa pertemanan
di antara kami. Perbedaan itu justru membuat kita bisa saling melengkapi. Seperti
kangkung tumis, mana mungkin enak kalau cuma kangkung yang ditumis. Dibutuhkan
juga garam, bawang, dll untuk melangkapi cita rasa. Perbedaan ini justru
membuat ku tersenyum sadar bahwa Bumi Allah ini begitu luar biasa beragam dan
membuatku bisa berpikir dengan lebih luas.
4. Berhijab membantu aktifitas ibadah
Di Indonesia sangat banyak kita temui masjid, mushola, dimana
tempat-tempat tersebut sudah lengkap dengan perlengkapan sholat seperti
mukenah. Berbeda dengan disini yang cuma ada beberapa masjid, waktu shalat saja
tidak pernah terdengar azan. Dan tidak ada sarana ibadah di tempat umum, seperti
di station, mall, tempat wisata, dll. Kalau sudah begini, jangankan untuk
shalat, berwudhu saja terkadang harus menggunakan debu mengingat kondisi yang
tidak memungkinkan seperti di dalam kendaraan, jauh dari wc, dll. Nah, inilah
fleksibelnya hijab. Karena dengan hijab, aku tidak perlu ribet lagi cari mukenah. Tinggal berwudhu langsung shalat, terkadang kalau sempat aku cuma cukup
membawa sajadah. Karena biasanya kalau di tempat umum yang masih ada lowong
kayak di taman yang lagi sepi, aku bisa shalat berdiri dimana saja. Namun lebih
sering kalau tempat umumnya padat orang berlalu lalang atau tidak memungkinkan, aku shalat sambil duduk. Yang pasti shalat 5 waktu jadi lebih fleksibel di
mana pun. Maka dari itu sebaiknya pengguna hijab menyempurnakan hijabnya,
misalkan dari yang celana ketat jadi agak longgar, dari yang tidak berkaos kaki
jadi berkaos kaki, dari yang jilbabnya transparan coba pilih yang agak tebal
atau coba pakai dalaman kerudung. Kalau sudah menutupi aurat maka cukup bermodal
air atau debu dengan sedikit space untuk shalat maka kamu bisa shalat dimana
pun kamu mau dengan berhijab. :D
5. Berhijab membuat mu merasakan "muslim experience"
Kamu mungkin pernah masuk ke hotel atau tempat tertentu yang
butuh identifier, pengunjung biasa mungkin cuma terhenti sampai di lobi (*ruang
tunggu di depan front office) atau kalau pun mau masuk maka mereka perlu
mendaftar secara manual yang membuang waktu. Tetapi seorang dengan identifier bisa
mengakses banyak fasilitas di ruang-ruang hotel tersebut dengan hanya meng-tab identifier nya. Dengan
itu lah mereka merasakan sebuah "customer
experience" yang berbeda. Seperti itulah kurang lebih
aku menggambarkan poin pengalaman berhijab di Enschede dan Paris, dua kota dari
Negeri Eropa ini.
"akan kamu temukan orang yang tiba-tiba datang menghampirimu untuk hanya sekedar senyum dan mengucapkan "Assalamu'alakum" ".
Yah, hangat sekali rasanya melihat senyum nya meskipun mungkin
dia punya native yang berbeda atau bahkan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali. Tapi kami
dipersatukan dengan satu kata indah "Assalamu'alakum" tanda
persaudaraan. Ungkapan itu merasuk lembut ke hati ku, bahkan
membuat aku terharu melihat betapa ia mengenali aku hanya dari sehelai kain
yang menutupi rambut ku ini. Dan seketika itu juga hati-hati kami saling
"connecting", merasa bahwa kami menyembah Tuhan yang sama
dan berpegang pada Risalah seorang Nabi Pengukir umat terbaik (dia Nabi
Muhammad saw.).
Beberapa kali dalam perjalanan tiba-tiba ada pria paruh baya
yang melihat aku dengan senyum sambil mengatakan "masyaAllah". Kalau
di Indonesia masih ada yang salah sangka tentang makna "masyaAllah". "MasyaAllah" sebenarnya digunakan saat kita melihat hal-hal yang baik.
"MasyaAllah digunakan untuk menunjukkan kekaguman terhadap seseorang
atau kejadian. Ini digunakan sebagai ekspresi penghargaan, sementara
dalam waktu yang sama juga sebagai pengingat bahwa semua pencapaian bisa
terjadi karena kehendak-Nya. (Sumber: inilahrisalahislam.blogspot.nl
dan id.wikipedia.org)."
Pengalaman lain, saat di Paris ada yang tiba-tiba menawarkan aku untuk nginap di rumahnya secara gratis karena dia tahu aku seorang muslim. Aku juga pernah tiba-tiba diajak ngobrol dengan seorang pria dengan bahasa yang tidak aku kenali "bahasa apa itu", setelah diperhatikan sepertinya itu salah satu bahasa di Negara mayoritas Islam bagian tertentu. Awalnya aku terkejut kenapa pria (sekitar usia 28-30 an) tersebut tiba-tiba ngajak ngobrol dengan bahasa seperti itu. Aku cuma bisa jawab, maaf aku tidak mengerti, aku bisanya bahasa inggris. Baru belakangan aku tau dia seorang muslim, saat temannya datang menyapanya, dan mereka ngobrol dengan sesekali megucapkan kalimat tayyibah. Kalau tidak berhijab, mungkin pengalaman ini akan tidak mudah didapat. hehe.. :D
Pengalaman lain, saat di Paris ada yang tiba-tiba menawarkan aku untuk nginap di rumahnya secara gratis karena dia tahu aku seorang muslim. Aku juga pernah tiba-tiba diajak ngobrol dengan seorang pria dengan bahasa yang tidak aku kenali "bahasa apa itu", setelah diperhatikan sepertinya itu salah satu bahasa di Negara mayoritas Islam bagian tertentu. Awalnya aku terkejut kenapa pria (sekitar usia 28-30 an) tersebut tiba-tiba ngajak ngobrol dengan bahasa seperti itu. Aku cuma bisa jawab, maaf aku tidak mengerti, aku bisanya bahasa inggris. Baru belakangan aku tau dia seorang muslim, saat temannya datang menyapanya, dan mereka ngobrol dengan sesekali megucapkan kalimat tayyibah. Kalau tidak berhijab, mungkin pengalaman ini akan tidak mudah didapat. hehe.. :D
(Aku dan hijab, seutas rangkaian kisah Berhijab di Negeri Eropa)
Sabtu, 31 May 2014
Enschede, Netherlands