Dan aku tidak tau apa itu namanya, tapi itu mungkin yang namanya "koneksi batin" dalam payung islam... tidak berbicara dengan mulut, tapi kami berbicara dengan hati
21 Juni adalah hari yang cukup menantang dalam hidup ku, karena waktu itu aku putuskan untuk traveling alone. Cuma modal beberapa euro, hape, notes, plus bahasa inggris saatnya berkunjung ke Negara tetangga Belgium. Tepatnya salah satu kota wisata terkenal di dunia karena romantisme-nya, nama kota itu adalah Brugge. Yang jauh lebih menarik bukan romatisme kota itu, bukan juga karena pemandangan indah yang aduhai, atau waffles nikmat khas Belgium.
Ada keromantisan yang lebih dari itu, sebuah jawaban dari do'a andalan yang selalu ku panjatkan sebelum berangkat traveling ke negara mana pun.
Ya Allah ridhoilah perjalanan ku, dan berikanlah hikamah dari perjalanan ini untuk menjadi perjalanan religi bagi ku
Kereta ku berangkat sejak pagi, dan baru berada di dalam Belgium saat siang menjelang sore. Berhubung saat itu tidak bisa ngutak-ngatik HP karena takut batrei habis saat di perjalanan. Makanya ku cari saja apa yang bisa dilakukan dari pada bengong. Okay, dan aku ingat kalo aku bawa Al Qur'an setidaknya ada yang bisa dibaca walau cuma baca arti Indonesianya saja.
Kereta ku berhenti sejenak di salah satu kota sebelum Brugge. Disana masuklah seorang Ibu, yang langsung duduk tepat disampingku. Namun selanjutnya dia berpindah tempat ke kursi yang ada tepat dihadapan kami, yang hanya terjarakkan oleh sebuah meja di tengah. Ada scraft yang membalut di kepalanya, tapi itu tidak tertutup sepenuhnya. Hanya seperti dicantolkan, jadi ku pikir itu hanya dipakai untuk style. Dan kali ini menyusul dibelakangnya pria usia sekitar 25 tahun ke atas. Ku tebak sepertinya itu anaknya. Yah mereka berbincang hangat, dengan bahasa yang sama sekali tidak ku mengerti.
Seusai membaca, ku taro Al Qur'an itu di atas tas jinjing yang aku taro di atas meja. Dan seketika Ibu itu pun mengambil Al Qur'an tersebut dengan kedua tangannya, yang langsung membuat ku terkejut. *dalam hati "kenapa nih Ibu!".
Dan luluhlah hati ku, dengan khidmatnya dia mencium Al Qur'an bersampul hijau ku itu dengan wajahnya, dan menempelkannya (menyentuhkannya) ke dada nya. Dan diletakkannya kembali Al Qur'an itu ke atas tas ku. Aku cuma speechless ngeliatnya, dan akhirnya aku paham beliau seorang muslim. Dia pun bertanya, mengajak ngobrol. Namun sayangnya bukan dengan bahasa yang aku mengerti. Entah itu bahasa apa, meski berulang kali aku bilang "maaf saya ngertinya kalo bahasa inggris". Tapi sepertinya beliau sama sekali tidak mengerti. Bahkan setelah itu anaknya bertanya yang kurang lebih mungkin artinya "kamu bisa bahasa arab?". Saya jawab saja "engga juga, hehe".
Tidak menyerah, Ibu itu tetap ngobrol dengan ku seolah sedang menceritakan sesuatu tentang dirinya dan anaknya. Dan seolah saya mengerti, saya juga selalu merespon percakapan dua bahasa berbeda kami. Yang benar-benar aku mengerti adalah beliau berasal dari afganistan. Begitu pun yang aku yakin dia mengerti adalah aku berasal dari Indonesia. Tersenyum bersama, berbagi makanan bersama.
Perjalanan yang tadinya cukup membuat deg-deg'an karena sendiri jadi nyaman karena ada saudara-saudara ku di sini. Kami yang hanya baru bertemu beberapa menit lalu, dan berbicara akrab dengan dua bahasa yang jelas berbeda. Tapi bisa ku lihat pancaran aura mereka, yakni aura cinta persaudaraan islam.
Kini aku merasakan apa yang dulu pernah diceritakan Aa Gym,
Bahwa hati itu bisa berbicara, dia tidak butuh penerjemah. Dialah insting terbaik dan pemersatu yang tak tertandingi
Kami pun berpisah di satu kota sebelum Brugge, karena mereka sudah sampai. Kami pun (aku dan Ibu) bersalaman hangat seolah saudara dekat yang akan berpisah jauh.
Ada yang punya ribuan kata romantis, tinggal dilingkungan yang romantis tapi mereka tidak bisa merasakan "keromantisan dalam iman". Tapi islam bukan hanya tertulis di lembar kertas yang ku bawa, tapi tertulis di hati. Yang mana dengannya ada radar pemersatu hati, pada setiap jiwa muslim di seluruh penjuru alam.
Itulah mengapa, jika kau sakit saudara ku seharusnya aku pun sakit. Karena rasa ini adalah rasa yang sama. Dan saat kepedihan yang terjadi pada mu saudara-saudara ku yang sedang tersakiti di Gaza, atau pun di belahan dunia lainnya. Maka sebenarnya rasa yang sama itu terjadi pada ku, pada kami muslim Indonesia. Namun maafkan aku yang lemah, belum mampu melakukan apapun kecuali mendo'akan kalian dari jauh.
Kala kalian ke Indonesia, datangilah rumah ku "siapa pun nama mu, bahasa mu, dan asal mu". Semoga Allah memberkahi umat islam di seluruh penjuru dunia.
0 comments:
Post a Comment